Suaranesia.com – Jember, Jember tengah menjadi atensi nasional. Beragam media memuat berita tentang inkonsistensi netralitas kepala daerah dan ASN dalam rangkaian kegiatan Jember Berbagi (J Berbagi). Diberitakan, Bupati berikut ASN, dalam hal ini Sekda dan Kepala Dinas, Camat dan Lurah sebagai Pejabat Struktural Pemkab Jember dilaporkan telah melanggar komitmen netralitas.
Disinyalir dalam kegiatan J-Berbagi, Terlapor secara faktual telah melibatkan secara aktif Sdr. Muhammad Nadhif, Try Sandi Apriana dan Sdr. Yustiawan Yusran. Ketiga orang tersebut merupakan bagian dari Partai Peserta Pemilu ( Nasdem, Demokrat dan Gerindra). Apalagi diantara mereka ada yang menggunakan PIN Parpolnya. Rangkaian aksi tersebut telah diupload media resmi Pemkab Jember sehingga bisa diakses publik secara terbuka.
Terlepas dari hasil lidik dan sidik Bawaslu Jember, jika memperhatikan pengaduan JEPR atas kasus posisi yang didiskripsikan, dengan menjunjung asas praduga tidak bersalah, maka Terlapor patut diduga telah melakukan kegiatan sebagai fakta yang mengarah kepada keberpihakan kepada peserta pemilu dan bakal calon legeslatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Atas dasar fakta semacam ini maka patut diduga Terlapor telah melanggar Pasal 283 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu – junto Pasal 4 huruf (d) Undang-Undang No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara junto Pasal 9 ayat (2) junto Peraturan Pemerintah No 94 Tahun 2001 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil – Pasal 5 huruf n angka 5 Junto PP 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS – Pasal 11 huruf c.
Berdasarkan ketentuan hukum di atas, Bawaslu Jember dituntut kepiawainnya untuk menggali fakta dan beragam motif di balik fakta agar bisa dikonstruksi untuk membingkai kasus yang ada. Upaya demikian tentu saja dibutuhkan pendekatan ilmu hukum, kontribusi teori, komponen asas, kecermatan logika ditopang berbagai konsep sehingga konstruksi hukum itu menjadi detail, akurat, cermat dan komprehensif.
Bisa saja dalam klarifikasi penyidikan, Terlapor berdalih, tidak mengajak para pihak, tetapi faktanya justru tidak melarang. Bahkan pejabat yang seharusnya paham aturan dimaksud justru bangga berfoto dan tidak mengingatkan representasi parpol yang konon ‘istimewa’ bagi Terlapor. Bisa saja semua pihak dalam statusnya sebagai saksi mengingkari, menyatakan tidak tahu, atau tidak kenal.
Namun dalam kerangka lidik dan sidik, hukum kausalitas logika, pengingkaran adalah petunjuk konkrit untuk membuka tabir lebih dalam. Sekalipun pengakuan tersebut disampaikan di bawah sumpah.
Berbagai elemen masyarakat mendukung penuh semua langkah hukum Bawaslu Jember guna menindaklanjuti pengaduan JEPR atas dugaan pelanggaran netralitas Bupati dan Pejabat. Poin problemnya justru ada pada Bupati sebagai Terlapor.
Ketika Bawaslu datang mengklarifikasi ke Pendopo karena Bupati tidak memenuhi undangan klarifikasi oleh Bawaslu, atas pertimbangan efisiensi dan efektifitas karena Bawaslu dibatasi waktu adalah aksi konkrit yang patut diapresiasi. Sisi lain, dari persepktif Bupati, apapun alasannya, ketidakhadiran atas undangan klarifikasi oleh Bawaslu patut disayangkan. Bupati telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUB), berprilaku tidak mencerminkan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan – Pasal 5 penegasan tentang AAUB terutama asas proporsionalitas jika dikaitkan dengan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan agar pejabat hukum administrasi negara mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban penyelenggara negara.
Undangan klarifikasi oleh Bawaslu merupakan kewajiban untuk hadir. Kewajiban semacam ini merupakan perwujudan dari persamaan di muka hukum. Artinya, hukum diakses oleh siapapun, jawabannya sama meskipun kedudukan Bupati dan Bawaslu tidak sama.
Perihal potensi gangguan dalam proses hukum yang dilakukan Bawaslu Jember, hal itu sudah barang tentu ada. Lumrah sebagai bagian dari dinamika Bawaslu dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Dinamika selalu ada. Bahkan cenderung menghambat. Itu hal biasa. Sepanjang Bawaslu bekerja dengan landasan peraturan perundang-undangan, siapa takut.
Ini bukan persoalan hukum, tetapi soal psykis dan nyali. Semakin banyak hambatan dari pihak lain, baik disengaja atau tidak justru hal ini mengindikasikan sebagai wujud pengakuan terhadap Bawaslu Jember.’
Bahkan di penghujung masa jabatannya karena bulan Agustus 2023 Bawaslu harus mengakhiri masa jabatannya, atensi nasional pada dasarnya tidak saja fokus pada kasusnya, tetapi kinerja dan produktifitas untuk menuntaskan kasus yang memposisikan Bupati dan ASN sebagai Terlapor memiliki makna politis yang dahsyat guna membangun potret diri bagi personal Bawaslu Jember.
Di sisi lain dinamika Bawaslu Jember atas kasus ini sekaligus parameter untuk mengukur sensitifitas DPRD dalam menjalankan fungsinya di bidang pengawasan.
Satu hal patut dicatat sebagai justifikasi langkah hukum Bawaslu. Pada tahun 1980-1990 paradikma pemerintahan daerah adalah New Public Management. Beorientasi pada tertib managerial internal pemerintah tanpa mempersoalkan hasil pelayanan. Namun sejak tahun 2003 hingga kini, paradikma tersebut berubah menjadi New Public Service.
Artinya, pelaksanaan pemerintah daerah dituntut untuk menjunjung tinggi out put berupa pelayanan yang berbasis kepastian dan keadilan. Termasuk komitmen fair play dalam kerangka demokratisasi di tahun politik menuju 2024. Sudahkah Pemkab Jember konsisten menjalankan ? Di sinilah urgensi Bawaslu Jember untuk membuktikan semua itu.
Dr. Aries Harianto, S.H., M.H.,C.Med (Pakar Hukum Tata Negara – Dewan Pakar KAHMI Jember – Mediator Berlisensi Mahkamah Agung dan Pembina Sarbumusi Jember).