Suaranesia.com, Jakarta – Bom bunuh diri yang dilakukan seorang mantan Napiter di Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat masih berbuntut polemik di media massa. Ada beberapa pihak yang mempertanyakan program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah, termasuk Polri dan BNPT, yang dianggap gagal dan percuma dilakukan.
Menurut Dr. Rahmat Edi Irawan., S.Pd., M.Ikom, mereka menganggap program yang menghabiskan anggaran negara triliyunan lebih itu sia-sia, karena mereka, para teroris yang dibina, dikembalikan menjadi normal kembali, ternyata saat baru keluar penjara, tetap radikal, bahkan menjadi teroris yang rela menjadi pelaku bom bunuh diri.
Tidak ada yang salah dalam program tersebut. Berharap program itu, dapat membalikkan keyakinan orang lain keseluruhan atau 100 persen, adalah menggampangkan persoalanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sama dalam ilmu komunikasi, meski kita sering mengirimkan sebuah pesan pada seseorang, maka penerimaan pesan dengan baik, juga sangat ditentukan persepsi orang yang menerima pesan terhadap isi pesan yang disampaikan. Artinya, meski pesan diterima secara baik dan utuh, persepsi atau sikap penerima pesan terhadap materi pesan yang disampaikan, bahkan terhadap pengirim pesan tersebut, menyebabkan pesan yang diterima si penerima pesan bisa terdistorsi.
Tidak perlu alergi atau takut, dengan program-program deradikalisasi. Ingat deradikalisasi bukan melawan atau menantang umat atau ajaran Islam. Islam tidak mengajarkan kekerasan dan bunuh diri.
Bisa jadi cara mengajarkannya atau mereka yang mengajarkannya yang dianggap tidak memahami sepenuhnya upaya deradikalisasi, harus diganti dengan mereka yang paham atau mengerti bagaimana deradikalisasi harus dijalankan. Artinya sebuah evaluasi menyeluruh, memang perlu dilakukan agar projek tersebut lebih tepat sasaran dan tingkat keberhasilannya makin besar.
Jika demikian, maka penghapusan deradikalisasi justru akan membuka kotak pandora, makin suburunya teroris di negara kita ini. (Red)